Makassar, 8 April 2022 – Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan Bidang Wilayah II Parepare melalui Tim Wildlife Rescue Unit (WRU), menerima penyerahan dua ekor Kucing Hutan (Prionnallurus bengalensis) dilindungi dari Stasiun Karantina Pertanian Kelas I Parepare pada tanggal 8 April 2022.

 

Informasi tentang adanya satwa yang dilindungi di Pelabuhan Cappa Ujung Parepare pada tanggal 8 April 2022 pukul 09:00 WITA berawal dari berlabuhnya KM (Kapal Motor) Thalia di Pelabuhan setelah menempuh perjalananan dari Nunukan. Kalimantan Timur. Petugas Karantina Pertanian melakukan pemeriksaan ke kapal KM Thalia, akan tetapi hasilnya nihil. Setelah kapal selesai melakukan pembongkaran petugas Karantina Pertanian kembali melakukan pemeriksaan.  

 

Dari hasil pemeriksaan kedua pada pukul 10:30 WITA petugas karantina berhasil menggagalkan penyelundupan 2 (dua) ekor Kucing Hutan (Prionailurus bengalensis). Kucing hutan tersebut kemudian diserahkan ke Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan dan diterima oleh Tim WRU Bidang Wilayah II Parepare diwakili Kepala Seksi Wilayah III Soppeng Benny Daly dan Anggota Tim  WRU Moh. Taufan.

 

Berdasarkan hasil indentifikasi yang dilakukan oleh tim medis Dokter Hewan Balai Besar KSDA Sulawesi Selatan diperoleh data bahwa kedua ekor Kucing Hutan telah berumur kurang lebih 5 bulan, dalam keadaan sehat, meskipun awalnya mengalami dehidrasi akibat perjalanan dari Nunukan. Setelah penanganan awal dengan pemberian makan dan minum terlihat nafsu makan kedua Kucing Hutan tersebut baik, perilaku normal, bulu yang normal, serta tidak ada cacat fisik maupun luka.

 

Kepala Seksi Wilayah III Soppeng, Benny Daly., S.Hut., M.Si menyampaikan, “ucapan terima kasih kepada Karantina Pertanian Kelas I Parepare atas kerjasamanya terhadap upaya pelestarian satwa liar yang dilindungi. Serta mengajak dan menghimbau kepada semua pihak agar tidak lagi memelihara dan memperjual belikan satwa liar yang dilindungi undang-undang dan membiarkanya hidup di alam bebas untuk keseimbangan ekologis”, tegasnya.

 

Kucing Hutan atau Kucing Kuwuk (Prionailurus bengalensis) adalah kucing liar kecil Asia. Sejak Tahun 2022 telah terdaftar dalam spesies Risiko Rendah oleh International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) sebab terancam kehilangan habitat dan banyaknya perburuan di beberapa persebaran. Persebaran kucing hutan dari wilayah Amur di Timur Jauh Rusia sampai ke Semenanjung Korea, China, Indochina, Subkontinen India, Pakistan, Filipina, dan Indonesia. Kucing hutan ini banyak ditemukan di kawasan hutan.

 

Kucing Hutan yang ukurannya seperti kucing domestik memiliki bentuk tubuh ramping dengan kaki yang panjang dan selaput yang jelas diantara sela jari kaki. Kepala kucing hutan berukuran kecil dengan ditandai dua garis gelap menonjol, dan moncong putih yang pendek dan sempit. Tubuh dan tungkai ditandai dengan bintik-bintik hitam dengan ukuran dan warna yang tidak sama, badan mereka berbintik dengan beberapa cincin hitam (Permatasari, 2020).

Ukuran Kucing Hutan yang seperti kucing domestik mencuri perhatian masyarakat sehingga banyak yang memelihara meskipun hal tersebut merupakan tindakan illegal. Maraknya perdagangan illegal khususnya di wilayah Sulawesi Selatan dikarenakan tingginya permintaan dan meningkatnya selera konsumen dalam memelihara satwa dilindungi. Bagi beberapa orang memelihara kucing hutan sensasinya berbeda dengan memelihara kucing jenis biasa yang lucu dan mudah akrab dengan manusia. Sebagian lagi masyarakat beranggapan membeli satwa liar dapat meningkatkan derajat/ prestice karena mampu membayar dan membeli kebutuhan satwa tersebut, serta memiliki rasa berani yang lebih tinggi karena dapat memelihara satwa liar.

 

Perdagangan illegal satwa liar mengakibatkan ekosistem hutan menjadi rusak karena terputusnya rantai makanan. Hal ini menjadikan bisnis satwa illegal bersama dengan perdagangan manusia dan narkotika sebagai kejahatan yang paling besar di dunia. Banyak satwa langka yang diperjualbelikan secara illegal (tidak memiliki izin resmi) serta ditangkap dan diselundupkan dengan cara yang tidak sesuai standar Animal Welfare.

 

Perdangan satwa satwa illegal merupakan perdagangan yang tidak memiliki ijin resmi dari pemerintah. Tindak pidana perdagangan tersebut telah diatur dalam Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang mengatakan bahwa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut hingga memperniagakan satwa liar. Ironisnya keadaan saat ini masih banyak masyarakat yang melakukan bisnis perdagangan satwa liar.

 

 

 

 

Penanggung Jawab Berita:

Eko Yuwono

 

Call Center BBKSDA Sulsel:

08114600883