Makassar, 28 Januari 2020 – Konflik Buaya dan Manusia di Danau Towuti kembali berlanjut tepatnya di sekitar dermaga Timampu, Desa Timampu, Kecamatan Towuti, Luwu Timur, Sulawesi Selatan (Sulsel). Korban bernama Furqon (31), warga Desa Tokalimbo, Kecamatan Towuti, diserang buaya di Danau Towuti, Jumat (24/1/2020) dinihari. Tepatnya di Pelabuhan Timampu (Dermaga Timampu) sekitar jam 1 malam. Malam itu, Furqon hendak mengantar istrinya yang hamil di RSUD I La Galigo Wotu.

 

Korban diserang buaya saat mencuci kaki dan sendalnya di tepi Danau Towuti di areal Pelabuhan Timampu. Beruntung, Furqon berhasil menyelamatkan diri dari serangan hewan predator tersebut. Akibat serangan itu, Furqon mendapat luka gigitan serius pada bagian paha sebelah kirinya.

 

Mendapat laporan seperti ini TIM Wildlife Resque Unit (WRU) Soroaku dipimpin kepala resort bergerak cepat melakukan pengamanan di lokasi kejadian dan menghimbau kepada warga sekitar untuk tidak melakukan aktifitas di sekitar TKP.

 

Kepala Bidang Wilayah I Palopo Nur Alam, S.hut menanggapi kejadian ini “Secara sosial, ini musibah yang kita tidak kita inginkan terjadi tapi dilain hal danau memang habitat tuk hidup Buaya muara sebagai satwa dilindungi. Kejadian ini menjadi dilema sebab penumpang atau pendatang terkena musibah hanya persoalan awalnya turun kepinggir danau untuk cuci kaki, sebaiknya dari pihak pelabuhan memperbanyak fasillitas MCK untuk masyarakat. Dari kami Mustahil buaya bisa dibasmi atau dimusnahkan di danau towuti” Terang Nur Alam.

 

Tindak lanjut dari peristiwa ini dilakukan evakuasi satwa buaya yang menyerang warga dibantu masyarakat sekitar. Alhasil buaya sepanjang 4 meter tersebut berhasil dievakuasi pada 27 Januari 2020 pukul 06.30 Wita di Danau Towuti. Sayangnya pada proses evakuasi Buaya tersebut mati ketika sampai di Lokasi Kantor Daops Manggala Agni yang sebelumnya hendak di rilis ke habitat yang jauh dari penduduk. Penyebab kematian buaya masih belum diketahui dan sedang dilakukan otopsi oleh tim WRU agar diketahui penyebab kematian buaya tersebut.

 

Kepala Balai Besar KSDA Sulsel Ir.Thomas Nifinluri, M.Sc menambahkan “Konflik satli dengan manusia terjadi karena dinamika perubahan lanskap dan kehidupan yang pesat. Ini bisa dimininalisir konflik nya dengan batas-batas yang jelas namun tetap terbatas karena banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan. Satli ada wilayah jelajah hidup.. sementara ruang hidup sudah terbatas. Sedang Manusia berkegiatan cenderung tanpa batas. Salah satu cara adalah dengan kelola habitat baik untuk satli maupun manusianya. Terang Thomas.

 

Penulis  : Awang

Penanggung Jawab Berita:

PLH. Kepala Subag Data, Evlap dan Humas

BBKSDA Sulsel

Murniati. S.Hut